sibuk kerja dan ngurusin calon istri yang luar biasa sampai gak bisa posting
love you forever umi
Dedi Fahriadi
Berisi Tentang Makalah
Rabu, 30 April 2014
Sabtu, 15 Desember 2012
KURIKULUM PENDIDIKAN YANG BERKARAKTER
Dewasa
ini berkembang tuntutan untuk perubahan kurikulum pendidikan yang
mengedepankan perlunya membangun karakter bangsa. Hal ini didasarkan
pada fakta dan persepsi masyarakat tentang menurunnya kualitas sikap dan
moral anak-anak atau generasi muda.
Pada
saat ini yang diperlukan sekarang adalah kurikulum pendidikan yang
berkarakter; dalam arti kurikulum itu sendiri memiliki karakter, dan
sekaligus diorientasikan bagi pembentukan karakter peserta
didik.Perbaikan kurikulum merupakan bagian tak terpisahkan dari
kurikulum itu sendiri (inherent), bahwa suatu kurikulum yang
berlaku harus secara terus-menerus dilakukan peningkatan dengan
mengadopsi kebutuhan yang berkembang dalam masyarakat dan kebutuhan
peserta didik.
Pembahasan
Perubahan
kurikulum pendidikan merupakan agenda yang secara rutin berlangsung
dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan di negara berkembang.Dewasa
ini mengedepankan perlunya
membangun karakter bangsa.Hal ini didasarkan pada fakta dan persepsi
masyarakat tentang menurunnya kualitas sikap dan moral anak-anak atau
generasi muda.Yang diperlukan sekarang adalah kurikulum pendidikan yang
berkarakter; dalam arti kurikulum itu sendiri memiliki karakter, dan
sekaligus diorientasikan bagi pembentukan karakter peserta didik.
Melihat
perjalanan sejarah pendidikan dari dekade sebelumnya, para orang tua,
secara subyektif, membuat perbandingan antara situasi pendidikan masa
kini dengan situasi di mana mereka dulu mengalami pendidikan di sekolah,
atas situasi, sikap, perilaku sosial anak-anak, remaja, generasi muda
sekarang, sebagian orang tua menilai terjadinya kemerosotan atau
degradasi sikap atau nilai-nilai budaya bangsa. Mereka menghendaki
adanya sikap dan perilaku anak-anak yang lebih berkarakter, kejujuran,
memiliki integritas yang merupakan cerminan budaya bangsa, dan bertindak
sopan santun dan ramah tamah dalam pergaulan keseharian. Selain itu
diharapkan pula generasi muda tetap memiliki sikap mental dan semangat
juang yang menjunjung tinggi etika, moral, dan melaksanakan ajaran
agama.
Jika
ditarik garis lurus bahwa mereka yang kini menjadi orang dewasa adalah
produk pendidikan pada beberapa dekade sebelumnya, maka yang
dipertanyakan adalah kurikulum pendidikan di masa sebelumnya itu.
Apa
yang dilakukan oleh beberapa orang tua tersebut tidak sepenuhnya salah.
Ada baiknya dilakukan “review” menyeluruh terhadap suatu kurikulum
pendidikan. Kehendak untuk melakukan peninjauan kurikulum, sesungguhnya,
bukan hanya semata-mata atas desakan dan tuntutan para orang
tua.Perbaikan kurikulum merupakan bagian tak terpisahkan dari kurikulum
itu sendiri (inherent), bahwa suatu kurikulum yang berlaku
harus secara terus-menerus dilakukan peningkatan dengan mengadobsi
kebutuhan yang berkembang dalam masyarakat dan kebutuhan peserta
didik.Kunci sukses implementasi kurikulum terutama adalah pada pendidik,
kelembagaan sekolah, dukungan kebijakan strategis, dan lingkungan
pendidikan itu sendiri.
Definisi
kurikulum memang sangat beragam, baik dalam arti luas maupun dalam arti
sempit.Tetapi untuk tujuan penulisan ini, kiranya perlu dikutip
pernyataan Sukmadinata (2004:150) yang mengatakan, kurikulum merupakan
rancangan pendidikan yang merangkum semua pengalaman belajar yang
disediakan bagi siswa di sekolah.Dalam kurikulum terintegrasi filsafat,
nilai-nilai, pengetahuan, dan perbuatan pendidikan.
Selanjutnya
dijelaskan, dalam memahami konsep kurikulum, setidaknya ada tiga
pengertian yang harus dipahami, yaitu; (1) kurikulum sebagai substansi
atau sebagai suatu rencana belajar; (2) kurikulum sebagai suatu sistem,
yaitu sistem kurikulum yang merupakan bagian dari sistem persekolahan
dan sistem pendidikan, bahkan sistem masyarakat; (3) kurikulum sebagai
suatu bidang studi, yaitu bidang kajian kurikulum, yang merupakan bidang
kajian para ahli kurikulum, pendidikan dan pengajaran.
Mengacu
pada pendapat tersebut, dapat ditegaskan bahwa kurikulum merupakan
rancangan pendidikan, yang berisi serangkaian proses kegiatan belajar
siswa. Dengan demikian secara implisit kurikulum memiliki tujuan yaitu
tujuan pendidikan.Selain itu juga jelas bahwa banyak faktor yang terkait
dengan pelaksanaan pendidikan, yaitu guru, siswa, orang tua, dan
lingkungan.
Manajemen
persekolahan juga menjadi variabel penting dalam mewujudkan tujuan
pendidikan.Bagaimana iklim sekolah diciptakan, turut berperan dalam
mewarnai anak didik.Apakah iklim kebebasan, disiplin, ketertiban, dan
kreativitas benar-benar tercipta di lingkungan sekolah.
Pendidikan Karakter
Pendidikan
karakter bukan merupakan hal yang baru sekarang.penanamannilai-nilai
sebagai sebuah karakteristik seseorang sudah berlangsung sejak dahulu
kala.Akan tetapi, seiring dengan perubahan zaman, agaknya menuntut
adanya penanaman kembali nilai-nilai tersebut ke dalam sebuah wadah
kegiatan pendidikan di setiap pengajaran.
Penanaman nilai-nilai tersebut dimasukkan (embeded)
ke dalam rencana pelaksanaan pembelajaran dengan maksud agar dapat
tercapai sebuah karakter yang selama ini semakin memudar. Setiap mata
palajaran mempunyai nilai-nilai tersendiri yang akan ditanamkan dalam
diri anak didik. Hal ini disebabkan oleh adanya keutamaan fokus dari
tiap mapel yang tentunya mempunyai karakteristik yang berbeda-beda.
Pendidikan Agama:
Nilai utama yang ditanamkan antara lain: religius, jujur, santun,
disiplin, tanggung jawab, cinta ilmu, ingin tahu, percaya diri,
menghargai keberagaman, patuh pada aturan, sosial, bergaya hidup sehat,
sadar akan hak dan kewajiban, kerja keras, dan adil.
Setiap
mata palajaran mempunyai nilai-nilai tersendiri yang akan ditanamkan
dalam diri anak didik. Hal ini disebabkan oleh adanya keutamaan fokus
dari tiap mapel yang tentunya mempunyai karakteristik yang berbeda-beda.
Distribusi penanaman nilai-nilai utama dalam tiap mata pelajaran dapat dilihat sebagai berikut:
1. Pendidikan
Agama: Nilai utama yang ditanamkan antara lain: religius, jujur,
santun, disiplin, tanggung jawab, cinta ilmu, ingin tahu, percaya diri,
menghargai keberagaman, patuh pada aturan, sosial, bergaya hidup sehat,
sadar akan hak dan kewajiban, kerja keras, dan adil.
2. Pendidikan
Kewargaan Negara: Nasionalis, patuh pada aturan sosial, demokratis,
jujur, mengahargai keragaman, sadar akan hak dan kewajiban diri dan
orang lain.
3. Bahasa Indonesia: Berfikir logis, kritis, kreatif dan inovatif, percaya diri, bertanggung jawab, ingin tahu, santun, nasionalis.
4. Ilmu
Pengetahuan Sosial: Nasionalis, menghargai keberagaman, berpikir logis,
kritis, kreatif, dan inovatif, peduli sosial dan lingkungan, berjiwa
wirausaha, jujur, kerja keras.
5. Ilmu
Pengetahuan Alam: Ingin tahu, berpikir logis, kritis, kreatif, dan
inovatif, jujur, bergaya hidup sehat, percaya diri, menghargai
keberagaman, disiplin, mandiri, bertanggung jawab, peduli lingkungan,
cinta ilmu
6. Bahasa Inggris: Menghargai keberagaman, santun, percaya diri, mandiri, bekerja sama, patuh pada aturan sosial
7. Seni Budaya: Menghargai keberagaman, nasionalis, dan menghargai karya orang lain, ingin, jujur, disiplin, demokratis
8. Penjasorkes: Bergaya hidup sehat, kerja keras, disiplin, jujur, percaya diri, mandiri, mengahrgai karya dan prestasi orang lain
9. TIK/Ketrampilan: Berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, mandiri, bertanggung jawab, dan menghargai karya orang lain.
10. Muatan Lokal: Menghargai kebersamaan, menghargai karya orang lain, nasional, peduli.
Bagaimana kesemuanya diaplikasikan? Setiap nilai utama tersebut dapat dimasukkan ke dalam pembelajaran mulai dari kegiatan eksplorasi, elaborasi, sampai dengan konfirmasi.
Bagian pertama adalah Eksplorasi, antara lain dengan cara:
1. Melibatkan
peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema
materi yang dipelajari dengan menerapkan prinsip alam terbuka jadi guru
dan peserta didik belajar dari aneka sumber (contoh nilai yang
ditanamkan: mandiri, berfikir logis, kreatif, kerjasama)
2. Menggunakan
beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran, dan sumber belajar
lain (contoh nilai yang ditanamkan: kreatif, kerja keras)
3. Memfasilitasi
terjadinya interaksi antarpeserta didik serta antara peserta didik
dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya (contoh nilai yang
ditanamkan: kerjasama, saling menghargai, peduli lingkungan)
4. Melibatkan
peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran (contoh
nilai yang ditanamkan: rasa percaya diri, mandiri)
5. Memfasilitasi
peserta didik melakukan percobaan di laboratorium, studio, atau
lapangan (contoh nilai yang ditanamkan: mandiri, kerjasama, kerja keras)
Bagian kedua adalah Elaborasi, nilai-nilai yang dapat ditanamkan antara lain:
1. Membiasakan
peserta didik membaca dan menulis yang beragam melalui tugas-tugas
tertentu yang bermakna (contoh nilai yang ditanamkan: cinta ilmu,
kreatif, logis)
2. Memfasilitasi
peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi, dan lain-lain untuk
memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis (contoh nilai
yang ditanamkan: kreatif, percaya diri, kritis, saling menghargai,
santun)
3. Memberi
kesempatan untuk berpikir, menganalisis, menyelesaikan masalah, dan
bertindak tanpa rasa takut (contoh nilai yang ditanamkan: kreatif,
percaya diri, kritis)
4. Memfasilitasi
peserta didik dalam pembelajaran kooperatif dan kolaboratif (contoh
nilai yang ditanamkan: kerjasama, saling menghargai, tanggung jawab)
5. Memfasilitasi
peserta didik berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan prestasi
belajar (contoh nilai yang ditanamkan: jujur, disiplin, kerja keras,
menghargai)
6. Memfasilitasi
peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan baik lisan
maupun tertulis, secara individual maupun kelompok (contoh nilai yang
ditanamkan: jujur, bertanggung jawab, percaya diri, saling menghargai,
mandiri, kerjasama)
7. Memfasilitasi
peserta didik untuk menyajikan hasil kerja individual maupun kelompok
(contoh nilai yang ditanamkan: percaya diri, saling menghargai, mandiri,
kerjasama)
8. Memfasilitasi
peserta didik melakukan pameran, turnamen, festival, serta produk yang
dihasilkan (contoh nilai yang ditanamkan: percaya diri, saling
menghargai, mandiri, kerjasama)
9. Memfasilitasi
peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa
percaya diri peserta didik (contoh nilai yang ditanamkan: percaya diri,
saling menghargai, mandiri, kerjasama)
Dan bagian ketiga adalah konfirmasi, nilai-nilainya antara lain:
1. Memberikan
umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat,
maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik (contoh nilai yang
ditanamkan: saling menghargai, percaya diri, santun, kritis, logis)
2. Memberikan
konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi peserta didik
melalui berbagai sumber (contoh nilai yang ditanamkan: percaya diri,
logis, kritis)
3. Memfasilitasi
peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar
yang telah dilakukan (contoh nilai yang ditanamkan: memahami kelebihan
dan kekurangan)
4. Memfasilitasi
peserta didik untuk lebih jauh/dalam/luas memperoleh pengetahuan,
keterampilan, dan sikap, antara lain dengan guru yang berfungsi sebagai:
Narasumber
dan fasilitator dalam menjawab pertanyaan peserta didik yang menghadapi
kesulitan, dengan menggunakan bahasa yang baku dan benar (contoh nilai
yang ditanamkan: peduli, santun);
Membantu menyelesaikan masalah (contoh nilai yang ditanamkan: peduli);
Memberi acuan agar peserta didik dapat melakukan pengecekan hasil eksplorasi (contoh nilai yang ditanamkan: kritis)
Memberi informasi untuk bereksplorasi lebih jauh (contoh nilai yang ditanamkan: cinta ilmu); dan
Memberikan
motivasi kepada peserta didik yang kurang atau belum berpartisipasi
aktif (contoh nilai yang ditanamkan: peduli, percaya diri).
Penanaman nilai diatas yang nantinya diharapkan akan menjadikan peserta didik menjadi lebih berkarakter.
Di
masa lalu, dogma atau doktrin negara dilakukan melalui
penataran-penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)
atau melalui mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP).
Pelaksanaan penataran P4 juga menjadi program wajib setiap siswa baru
pada jenjang sekolah menengah sampai perguruan tinggi.
Pada
semua mata pelajaran, secara implisit termuat tujuan pembelajaran yaitu
adanya perubahan kognitif, sikap, dan perilaku pembelajar. Kesemua
kegiatan pembelajaran, khususnya untuk mata pelajaran yang terkait
langsung dengan pembangunan mental dan moral pembelajar, itu dimaksudkan
sebagai usaha untuk membentuk sikap warga negara yang menjunjung tinggi
nilai-nilai budaya bangsa, mempererat persatuan dan kesatuan,
menciptakan kesadaran hidup bernegara, dan membangun moral bangsa.
Faktanya, setelah berlangsung bertahun-tahun, “produk” penataran P4 itu
tidak sesuai dengan yang diharapkan. Penyakit sosial dan penyakit
masyarakat masih saja merebak.sudah bukan lagi disebut sebagai kenakalan
remaja. Yang terlihat sekarang adalah perilaku tidak jujur, korupsi,
kolusi, nepotisme, suap, makelar kasus, bahkan tindakan terorisme,
hilangnya sikap kesabaran, pelanggaran norma masyarakat, merosotnya
disiplin berlalu-lintas di jalanan, memudarnya rasa malu, meredupnya
sikap saling menghargai, dan sebagainya.
Selain
itu, yang juga tampak menonjol adalah rendahnya penghargaan terhadap
karya sendiri dan atau karya bangsa sendiri.Hal ini diindikasikan dengan
tindakan pembajakan produk yang melanggar hak cipta, perilaku mencontek
dalam ujian, dan bahkan sikap mengagung-agungkan gelar, telah
melunturkan etos belajar, sehingga terjadi pemalsuan ijazah.Apalagi
ditambah dengan sikap konsumerisme dan gempuran iklan produk konsumtif
yang menyerbu setiap hari melalui berbagai media, kian menunjukkan
betapa kita telah kehilangan jati diri dan tidak mempunyai karakter.
Dalam tataran ini, belajar atau sekolah dianggap bukan sebagai kebutuhan, tetapi hanya merupakan wahana memburu status. Sekolah
dipandang bukan sebagai wahana sosialisasi dan membangun jiwa merdeka,
tetapi dipandang sebagai jembatan menuju “kemewahan”.
Pendidikan
berbeda dengan indoktrinasi.Pendidikan lebih bermuatan nilai-nilai
kemanusiaan, sedangkan indoktrinasi berkaitan dengan kepentingan
politik.Pendidikan bukan untuk menciptakan kemakmuran lahiriah, karena
kemakmuran itu hanya merupakan dampak dari pendidikan.
Kurikulum Pendidikan
Pertanyaannya,
adakah yang salah dalam kurikulum pendidikan di masa lalu?Apakah
kurikulum di masa lalu tidak memuat pendidikan karakter?Apakah kurikulum
itu sendiri telah memiliki karakter, sehingga mampu membentuk karakter
peserta didik?Sebagaimana diketahui, bahwa suatu kurikulum diterapkan
sesuai dengan situasi dan kondisi pada masanya.Kurikulum yang berlaku
pada masanya itu dapat dipandang telah memiliki kesesuaian dengan
situasi dan kondisi pada waktu itu dan memiliki tujuan-tujuan ideal yang
telah dipertimbangkan dengan matang.
Kurikulum
pendidikan yang berlaku dalam persekolahan di Indonesia telah mengalami
berbagai penyempurnaan, terakhir dengan apa yang disebut sebagai
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yang merupakan implementasi
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) (Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan).
Implikasi
lain dalam KTSP dan diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
jo. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah
dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom adalah desentralisasi
pengelolaan pendidikan kepada pemerintah daerah.
Diskusi
yang berkembang kemudian adalah kesiapan daerah dalam melaksanakan
pengelolaan pendidikan dan mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan.Selain
itu juga terkait dengan batas-batas kewenangan pemerintah pusat dalam
memberikan dukungan pelaksanaan KTSP.
KTSP
telah mengatur segala prinsip dan ketentuan-ketentuan
pelaksanaanya.Yang sekarang tampak nyata adalah kendala-kendala dalam
implementasi, di mana faktor kesiapan guru, ketersediaan sarana,
kesiapan siswa, dan dukungan dari orang tua atau masyarakat yang kurang
memadai.
Kemandirian Bangsa
Indonesia
dikenal sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar. Kondisi ini
secara ekonomi menjadi target pasar yang besar pula bagi produk-produk
negara lain. Apabila kondisi ini tidak diimbangi dengan perbaikan sektor
pendidikan, maka dapat diprediksi situasi yang semakin buruk, yaitu
bahwa bangsa dan negara dengan jumlah penduduk yang besar ini hanya akan
menjadi target pemasaran produk dan budaya dari luar (asing).
Selama
ini masyarakat Indonesia juga dikenal sebagai bangsa yang gemar
mengkonsumsi, tetapi lalai dalam aspek “produksi”.Longgarnya regulasi,
kesiapan mental yang mampu memfilter masuknya budaya negatif dari luar,
dan tekanan globalisasi atau pasar bebas, semakin memperkeruh situasi
ini.
Pandangan
tentang apa yang datang dari luar selalu baik, tanpa mempertimbangkan
baik dan buruknya, melahirkan ketidakseimbangan peradaban. Atau lebih
tepatnya disebut “keterkejutan budaya (cultural shock)”
Kategorisasi
era perkembangan teknologi dari era agraris, era industri, dan era
teknologi modern, telah nyata dalam kehidupan sebagian masyarakat kita.
Contoh paling nyata adalah petani di sawah yang memiliki handphone, hanya sekadar agar tidak disebut “kuno”, atau ketinggalan jaman, tetapi tidak menggunakan handphone
itu untuk kepentingan-kepentingan fungsionalnya. Contoh ini hanyalah
merupakan salah satu paradok kehidupan yang terkait dengan pendidikan.
Masih banyak contoh lain yang dapat diajukan dalam menunjukkan
“keterkejutan budaya” sebagai dampak penerapan kurikulum pendidikan
persekolahan. Keterombang-ambingnya generasi muda di “persimpangan
budaya” memerlukan komitmen kalangan pendidik untuk mampu memberikan
rambu-rambu dan sekaligus menanamkan nilai-nilai dan falsafah budaya
bangsa sendiri tetap dalam kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara.
Membangun Peradaban
Menghadapi
tuntutan era globalisasi yang antara lain ditandai dengan adanya
persaingan bebas dalam pergaulan dunia, maka pengelolaan pendidikan
harus dirancang secara komprehensif dan integratif, direncanakan secara
matang, dan mendapat dukungan dari semua pihak. Kurikulum juga harus
memiliki keseimbangan dalam hal tujuan-tujuan yang ingin dicapai; tidak
saja aspek kognitif dan keterampilan, tetapi juga penting aspek-aspek
mental, etika, moral, dan seni.
Trianto
(2010:11) mengatakan, perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia tidak
terlepas dari pengaruh perubahan global, perkembangan ilmu pengetahuan
danteknologi, serta seni dan budaya.
Dalam
kaitan ini, yang terpenting adalah pencapaian substansi tujuan
pendidikan dan proses pendidikan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan
yang telah ditetapkan. Kurikulum adalah serangkaian proses pembelajaran
untuk membentuk siswa yang memiliki integritas dan membangun sikap
mandiri dalam rangka menghadapi kehidupan di masa depan. Sikap mental
mandiri individual dalam diri siswa, secara kolektif dan kumulatif pada
akhirnya akan mampu membentuk sikap mental kemandirian bangsa.
KTSP
yang diidealkan sekarang harus dilaksanakan dengan sepenuh hati oleh
semua pihak dan dukungan dari pemerintah pusat berupa
kebijakan-kebijakan yang benar-benar berorientasi pada pencapaian
tujuan-tujuan diterapkannya KTSP. Konsepsi kompetensi dalam kurikulum
adalah; (1) kompetensi berkenaan dengan kemampuan siswa melakukan
sesuatu dalam berbagai konteks; (2) kompetensi menjelaskan pengalaman
belajar yang dilalui siswa untuk menjadi kompeten; (3) kompeten
merupakan hasil belajar yang menjelaskan hal-hal dilakukan siswa setelah
melalui proses pembelajaran; dan (4) keandalan kemampuan siswa untuk
melakukan sesuatu yang harus didefinisikan secara jelas dan luas dalam
suatu standar yang dapat dicapai melalui kinerja yang dapat diukur.
Secara
prinsip, kebijakan dan implementasi kurikulum pendidikan persekolahan
dimaksudkan untuk membentuk manusia seutuhnya, menyiapkan generasi muda
menghadapi kehidupan di masa datang, dan membangun sikap mental bangsa
yang mandiri.Pembentukan manusia seutuhnya dan segala atribut yang
termasuk di dalamnya, hanya bisa dilaksanakan apabila didukung dengan
kesiapan semua pihak dan penyediaan fasilitas yang memadai secara
merata.
Berdasarkan
uraian di atas dapat ditegaskan kembali bahwa yang terpenting dalam
kurikulum adalah kemampuan suatu kurikulum dalam mengadaptasi
perkembangan yang terjadi dalam masyarakat dan menerapkannya dalam
proses pendidikan. Konsepsi kompetensi siswa yang diharapkan dari suatu
kurikulum yang terutama adalah melakukan sesuatu sesuai konteks dan
secara kreatif. Kreativitas manusia sebagai wujud dari pendidikan ini
yang kemudian akan menjadi khasanah yang memperkaya budaya dan peradaban
bangsa. Isi (content) suatu kurikulum harus merupakan
usaha-usaha yang terarah dan terpadu untuk membangun sikap mental bangsa
yang memiliki karakter dan mampu membangun peradaban bangsanya sendiri.
Jumat, 01 Juni 2012
TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN
A.
Teori-teori klasik
1. Teori
behavioristik
Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan
oleh Gagne dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil
dari pengalaman. Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar
yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan
praktikpendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran
behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak
sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik memandang individu hanya dari sisi
jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain,
behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan
individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih siswa
sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.
Beberapa
prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi:
1. Reinforcement and Punishment;
2. Primary and Secondary Reinforcement;
3. Schedules of Reinforcement;
4. Contingency Management;
5. Stimulus Control in Operant
Learning;
6. The Elimination of Responses.
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu
proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment
menjadi stimulus untuk merangsang pembelajar dalam berperilaku.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali
tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel
atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan belajar yang dapat diubah
menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat
emosi siswa, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan
ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan
pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu
pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas
sangat
berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya
stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya
pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati
tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan siswa untuk
berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori
ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa
siswa menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan siswa tidak
bebas berkreasi dan berimajinasi.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus
responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Aplikasi
teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal
seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik siswa,
media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Munculnya Pembelajaran yang
dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan
adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur
dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar
adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang
belajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan
yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah,
sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh
karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Siswa diharapkan akan memiliki
pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang
dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, siswa dianggap sebagai
objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh
karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan
menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus
dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar
diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang
bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
2. Teori Pengkondisian
Teori ini disebut juga learned reflexes atau refleks karena
latihan, sebagian ahli juga menyebutnya sebagai teori belajar asosiatif. Teori
ini ditemukan di dekade 1890-an, namun baru diterbitkan pada tahun 1927 dalam
Conditioned reflexes: An Investigation of the physiological Activity of the
Cerebral Cortex.
Percobaan Pavlov
Percobaan tersebut dilakukan pada seekor anjing, kegiatannya
adalah memberi makan anjing eksperimen dan mengukur volume air liur anjing
tersebut di waktu makan. Setelah prosedur yang sama dilakukan beberapa kali,
ternyata anjing tersebut mengeluarkan air liur sebelum menerima makanan. Pavlov
menyimpulkan bahwa beberapa stimulus baru seperti pakaian peneliti yang serba
putih, telah diasosiasikan oleh anjing tersebut dengan makanan sehingga
menimbulkan respons keluarnya air liur.
Proses conditioning biasanya mengikuti prosedur umum yang
sama. Misalkan seorang pakar psikologi ingin mengkondisikan seekor anjing untuk
mengeluarkan air liur ketika mendengar bunyi lonceng. Sebelum conditioning,
stimulus tanpa pengkondisian (makanan dalam mulut) secara otomatis menghasilkan
respons tanpa pengkondisian (mengeluarkan air liur) dari anjing tersebut.
Selama pengkondisian, peneliti membunyikan lonceng dan kemudian memberikan
makanan pada anjing tersebut.
Bunyi lonceng tersebut disebut stimulus netral karena pada
awalnya tidak menyebabkan anjing tersebut mengeluarkan air liur. Namun, setelah
peneliti mengulang-ulang asosiasi bunyi lonceng-makanan, bunyi lonceng tanpa
disertai makanan akhirnya menyebabkan anjing tersebut mengeluarkan air liur.
Anjing tersebut telah belajar mengasosiasikan bunyi lonceng dengan makanan.
Bunyi lonceng menjadi stimulus dengan pengkondisian (conditioning Stimulus/CS),
dan keluarnya air liur anjing disebut respons dengan pengkondisian
(Unconditioning Stimulus/UCS).
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing
menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
a.
Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut.
Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang
salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus
lainnya akan meningkat.
b.
Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut.
Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent
conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer,
maka kekuatannya akan menurun.
Teori Pengkondisian ini lebih tepat digunakan untuk mahluk
hidup yang memiliki perkembangan kognitif belum optimal/pemikiran yang belum
kompleks.
3. Teori
Gestalt
Gestalt merupakan sebuah teori yang menjelaskan proses
persepsi melalui pengorganisasian komponen-komponen sensasi yang memiliki hubungan, pola, ataupun kemiripan
menjadi kesatuan. Teori ini dibangun oleh tiga orang, Kurt Koffka, Max
Wertheimer, and Wolfgang Köhler. Mereka menyimpulkan bahwa seseorang cenderung
mempersepsikan apa yang terlihat dari lingkungannya sebagai kesatuan yang utuh.
Teori gestalt banyak dipakai dalam proses
desain dan cabang seni
rupa lainnya, karena banyak menjelaskan bagaimana persepsi visual bisa
terbentuk. Persepsi jenis ini bisa terbentuk karena:
1. Kedekatan posisi (proximity)
2. Kesamaan bentuk (similiarity)
3. Penutupan bentuk
4. Kesinambungan pola (continuity)
5. Kesamaan arah gerak (common fate)
Faktor inilah yang menyebabkan kita sering bisa merasakan
keteraturan dari pola-pola yang sebenarnya acak. Misalnya saat seseorang
melihat awan, dia dengan mudah bisa menemukan bentuk muka seseorang. Hal ini
disebut pragnan.
B.
Teori-teori
belajar proses
1. Teori Skinner
Skinner mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana,
namun lebih komprehensif. Asas pengkondisian B.F Skinner dimulai awal
tahun 1930-an, pada waktu keluarnya teori S-R. Pada waktu keluarnya teori-teori
S-R. pada waktu itu model kondisian klasik dari Pavlov telah memberikan
pengaruh yang kuat pada pelaksanaan penelitian. Skinner tidak sependapat
dengan pandangan S-R dan penjelasan reflex bersyarat dimana stimulus terus
memiliki sifat-sifat kekuatan yang tidak mengendur. Menurut Skinner penjelasan
S-R tentang terjadinya perubahan tingkah laku tidak lengkap untuk menjelaskan
bagaimana organisme berinteraksi dengan lingkungannya. Bukan begitu, banyak
tingkah laku menghasilkan perubahan atau konsekuensi pada lingkungan yang
mempunyai pengaruh terhadap organisme dan dengan begitu mengubah kemungkinan
organisme itu merespon nanti.
Tidak seperti halnya teoritikus-teoritikus S-R lainnya,
Skinner menghindari kontradiksi yang ditampilkan oleh model kondisioning klasik
dari Pavlov dan kondisioning instrumental dari Thorndike. Ia mengajukan suatu
paradigma yang mencakup kedua jenis respon itu dan berlanjut dengan mengupas
kondisi-kondisi yang bertanggung jawab atas munculnya respons atau tingkah laku
operan.
Kondisian operan adalah sebentuk pembelajaran dimana
konsekuensi-konsekuensi dari prilaku menghasilkan perubahan dalam probabilitas
prilaku itu akan diulangi. Inti dari teori behaviorisme Skinner adalah
Pengkondisian operan (kondisioning operan). Ada 6 asumsi yang membentuk
landasan untuk kondisioning operan (Margaret E. Bell Gredler, hlm 122).
Asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut:
1. Belajar itu adalah tingkah laku.
2. Perubahan tingkah-laku (belajar)
secara fungsional berkaitan dengan adanya perubahan dalam
kejadian-kejadian di lingkungan kondisi-kondisi lingkungan.
3. Hubungan yang berhukum antara
tingkah-laku dan lingkungan hanya dapat di tentukan kalau sifat-sifat
tingkah-laku dan kondisi eksperimennya di devinisikan menurut fisiknya dan
di observasi di bawah kondisi-kondisi yang di control secara seksama.
4. Data dari studi eksperimental
tingkah-laku merupakan satu-satunya sumber informasi yang dapat di terima
tentang penyebab terjadinya tingkah laku.
Menurut Skinner (J.W. Santrock, 272) unsur yang terpenting
dalam belajar adalah adanya penguatan (reinforcement ) dan hukuman (punishment).Penguatan
dan Hukuman. Penguatan (reinforcement) adalah konsekuensi yang
meningkatkan probabilitas bahwa suatu perilaku akan terjadi. Sebaliknya,
hukuman (punishment) adalah konsekuensi yang menurunkan probabilitas
terjadinya suatu perilaku.
Menurut
Skinner penguatan berarti memperkuat, penguatan dibagi menjadi dua bagian yaitu
:
a. Penguatan positif adalah
penguatan berdasarkan prinsif bahwa frekuensi respons meningkat karena diikuti
dengan stimulus yang mendukung (rewarding). Bentuk-bentuk penguatan
positif adalah berupa hadiah (permen, kado, makanan, dll), perilaku (senyum,
menganggukkan kepala untuk menyetujui, bertepuk tangan, mengacungkan jempol),
atau penghargaan (nilai A, Juara 1 dsb).
b. Penguatan negatif, adalah
penguatan berdasarkan prinsif bahwa frekuensi respons meningkat karena diikuti
dengan penghilangan stimulus yang merugikan (tidak menyenangkan). Bentuk-bentuk
penguatan negatif antara lain: menunda/tidak memberi penghargaan, memberikan
tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang (menggeleng, kening
berkerut, muka kecewa dll).
Satu cara untuk mengingat perbedaan antara penguatan
positif dan penguatan negatif adalah dalam penguatan positif ada sesuatu yang
ditambahkan atau diperoleh. Dalam penguatan negatif, ada sesuatu yang dikurangi
atau di hilangkan. Adalah mudah mengacaukan penguatan negatif dengan hukuman.
Agar istilah ini tidak rancu, ingat bahwa penguatan negatif meningkatkan
probabilitas terjadinya suatu prilaku, sedangkan hukuman menurunkan
probabilitas terjadinya perilaku.
Skinner menggambarkan praktek “tugas dan ujian” sebagai
suatu contoh menempatkan pelajar yang manusia itu dalam kontigensi terminal
juga. Skinner menyarankan penerapan cara pemberian penguatan komponen tingkah
laku seperti menunjukkan perhatian pada stimulus dan melakukan studi yang cocok
terhadap tingkah laku. Hukuman harus dihindari karena adanya hasil sampingan
yang bersifat emosional dan tidak menjamin timbulnya tingkah laku positif yang
diinginkan. Analisa yang dilakukan Skinner tersebut diatas meliputi peran
penguat berkondisi dan alami, penguat positif dan negative, dan penguat umum.
Dengan
demikian beberapa prinsip belajar yang dikembangkan oleh Skinner antara lain:
1. Hasil belajar harus segera
diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan, jika benar diberi
penguat.
2. Proses belajar harus mengikuti irama
dari yang belajar.
3. Materi pelajaran, digunakan sistem
modul.
4. Dalam proses pembelajaran, lebih
dipentingkan aktivitas sendiri.
5. Dalam proses pembelajaran, tidak
digunakan hukuman. Namun ini lingkungan perlu diubah, untuk menghindari
adanya hukuman.
6. Tingkah laku yang diinginkan
pendidik, diberi hadiah, dan sebagainya. Hadiah diberikan dengan digunakannya
jadwal variable rasio reinforce
7. Dalam pembelajaran, digunakan
shaping.
2. Teori Gagne
Robert Gagne adalah seorang ahli psikologi pendidikan dengan
teorinya yang terkenal yaitu Condition of Learning. Teorinya menjelaskan tiga
hal, yaitu taksonomi hasil belajar, kondisi belajar khusus, dan 9 peristiwa
pembelajaran. Gagne mengkategorikan taksonomi hasil belajar dalam lima
komponen, yaitu: informasi verbal, keterampilan intelektual, strategi kognitif,
sikap, dan keterampilan motorik. Gagne mengatakan hal tersebut dikarenakan atas
asumsi bahwa hasil belajar yang berbeda tersebut memerlukan kondisi belajar
yang berbeda pula.Artinya untuk membangun strategi kognitif siswa memerlukan
kondisi berbeda dengan ketika kita ingin membangun sikap atau keterampilan motorik.
Taksonomi yang dibuat oleh Gagne ini adalah taksonomi hasil belajar pertama,
sebelum dibenahi oleh Bloom dan sekarang tahun 1999 lalu telah diperbaiki oleh
Crathwol.
Hal kedua dari teorinya Gagne adalah kondisi belajar khusus
(specifik learning condition). Ia menekankan bahwa sangatlah penting untuk
mengkategorisasikan tujuan pembelajaran sesuai dengan tipe hasil belajar, alias
taksonomi seperti dijelaskan di atas. Dengan cara seperti ini guru/tutor/dosen
dapat merancang pembelajarannya untuk mencapai tujuan pembelajaran yang
diinginkan. Ia juga menekankan bahwa untuk mencapai tujuan pembelajaran
tersebut, harus sangat-sangat memperhatikan kondisi khusus (critical condition)
yang harus disiapkan untuk mencapai itu. Jika tujuan pembelajaran yang ingin
dicapai adalah mengingat sejumlah kosa kata, katakanlah maka kita harus
menyiapkan kondisi khusus yaitu berupa petunjuk atau tips alias trik tertentu,
sehingga siswa bisa mengingat dan memahaminya.
9
peristiwa pembelajaran, yaitu:
1. Gaining Attention; yaitu upaya ata
cara kita untuk meraih perhatian siswa.
2. Informing learner of the objectives;
memberitahukan siswa tujuan pembelajaran yang akan mereka capai/peroleh;
3. stimulating recall of prior
learning; guru biasa menyebutnya dengan appersepsi, yaitu merangsang siswa
untuk mengingat pelajaran terkait sebelumnya dan menghubungkannya dengan apa
yang akan dipelajari berikutnya;
4. Presenting stimulus; setelah itu
mulailah dengan menyajikan stimulus;
5. Providing learning guidance; berikan
bimbingan belajar;
6. Eliciting performance; tingkatkan
kinerja;
7. Providing feed back; alias berikan
umpan balik;
8. Assessing performance; ukur capaian
hasil belajar mereka;
9. Enhancing retention and transfer;
tingkatkan capaian hasil belajar sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah
ditetapkan untuk dicapai.
C.
Teori-teori
kognitif
1. Teori Pemrosesan informasi
Menurut Slavin, teori pemrosesan informasi adalah teori
kognitif tentang belajar yang menjelaskan pemrosesan, penyimpanan, dan
pemanggilan kembali pengetahuan dari otak. Teori ini menjelaskna bagaimana
seseorang memperoleh sejumlah informasi dan dapat diingat dalam waktu
yang cukup lama sehingga perlu menerapkan suatu strategi belajar tertentu yang
dapat memudahkan semua informasi diproses di dalam otak melalui beberapa indera.
Komponen pertama yang dijumpai oleh informasi yang masuk
adalah registrasi penginderaan yang menerima sejumlah besar informasi dari
indera dan menyimpannya dalam waktu yang sangat singkat. Bila hal itu tidak
terjadi, maka informasi yang diterima akan hilang.
Keberadaan
register penginderaan mempunyai dua impliksi penting dalam pendidikan.
1. Orang harus menaruh perhatian pada
suatu informasi bila informasi itu harus Diingat.
2. Seseorang memerlukan waktu untuk
membawa semua informasi yang dilihat dalam waktu singkat
masuk dalam waktu kesadaran.
Informasi yang dipersepsi seseorang dan mendapat perhatian,
akan ditransfer ke komponen yang kedua dari system memori, yaitu memori jangka
pendek yang menyimpan informasi dalam jumlah terbatas hanya dalam beberapa
detik. Salah satu cara untuk menyimpan informasi dalam jangka waktu
pendek adalah memikirkan tentang informasi itu atau mengungkapkannya
berkali-kali.
Memori jangka panjang merupakan bagian dari system memori
tempat menyimpan informasi untuk periode panjang. Tulving membagi memori jangka
panjang menjadi tiga bagian yaitu:
1. memori episodik, yaitu bagian
memori jangka panjang yang menyimpan gambaran dari pengalaman-pengalaman
pribadi kita.
2. memori semantic, yaitu suatu bagian
dari memori jangka panjang yang menyimpan fakta dan pengetahuan umum.
3. memori procedural, yaitu memori yang
menyimpan informasi tentang bagaimana melakukan sesuatu.
Teori
belajar pemrosesan informasi mendeskripsikan tindakan belajar merupakan proses
internal yang mencakup beberapa tahapan. Sembilan tahapan dalam peristiwa
pembelajaran sebagai cara-cara eksternal yang berpotensi mendukung
proses-proses internal dalam kegiatan belajar adalah :
1. Menarik perhatian
2. Memberitahukan tujuan pembelajaran kepada siswa
3. Merangsang ingatan pada pra syarat belajar
4. Menyajikan bahan peransang
5. Memberikan bimbingan belajar
6. Mendorong unjuk kerja
7. Memberikan balikan informative
8. Menilai unjuk kerja
9. Meningkatkan retensi dan alih belajar .
1. Menarik perhatian
2. Memberitahukan tujuan pembelajaran kepada siswa
3. Merangsang ingatan pada pra syarat belajar
4. Menyajikan bahan peransang
5. Memberikan bimbingan belajar
6. Mendorong unjuk kerja
7. Memberikan balikan informative
8. Menilai unjuk kerja
9. Meningkatkan retensi dan alih belajar .
Keunggulan
strategi pembelajaran yang berpijak pada teori pemrosesan informasi :
a.
Cara
berpikir yang berorientasi pada proses lebih menonjol
b.
Penyajian pengetahuan memenuhi aspek
c.
Kapabilitas belajar dapat disajikan lebih
lengkap
d.
Adanya
keterarahan seluruh kegiatan belajar kepada tujuan yang ingin dicapai
e.
Adanya
transfer belajar pada lingkungan kehidupan yang sesungguhnya
f.
Kontrol
belajar memungkinkan belajar sesuai irama masing-masing individu
g.
Balikan
informativ memberikan rambu-rambu yang jelas tentang tingkat unjuk kerja
yang telah dicapai dibandingkan dengan unjuk kerja yang diharapkan
2. Teori Meta kognisi
Kemampuan berpikir yang diperlukan pada era globalisasi
adalah terkait kemampuan berpikir tentang proses berpikir yang melibatkan
berpikir tingkat tinggi dan dikenal dengan metakognisi. Peningkatan kemampuan
metakognitif secara signifikan merupakan efek yang dihasilkan dari
pembelajaran, baik pada diri siswa, lembaga maupun masyarakat, karena itu perlu
dipertimbangkan strategi pembelajaran yang berpotensi untuk mengungkap
kemampuan metakognitif.
Kemampuan berpikir tingkat tinggi dapat diberdayakan dengan
member-dayakan keterampilan metakognitif. Keterampilan metakognitif terkait
strategi maupun pelatihan metakognitif dan dapat dikembangkan melalui
pembelajaran kooperatif karena pada pembelajaran kooperatif terjadi komunikasi,
di antara anggota kelompok. Komunikasi di antara anggota kelompok kooperatif
terjadi dengan baik karena adanya keterampilan mental, adanya aturan kelompok,
adanya upaya belajar setiap anggota kelompok, dan adanya tujuan yang harus dicapai.
Kemampuan metakognitif untuk memonitor hasil belajar siswa
sendiri dengan menggunakan strategi tertentu, agar belajar dan mengingat dapat
berkembang. Mengidentifikasi ide-ide penting dengan menggarisbawahi atau
menemukan kata kunci pada bahan bacaan, kemudian merangkai menjadi satu kalimat
dan menulis kembali pada jurnal belajar, meramalkan hasil, memutuskan bagaimana
menggunakan waktu dan mengulang informasi merupakan keterampil-an berpikir
tingkat tinggi. Strategi yang digunakan untuk mengetahui proses kognitif
seseorang dan caranya berpikir tentang bagaimana informasi diproses dikenal
sebagai strategi metakognitif (Arends, 1998). Menurut Dirkes (1998) strategi
metakognitif dasar adalah menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan
terdahulu, memilih strategi berpikir secara sengaja, merencanakan, memantau,
dan mengevaluasi proses berpikir. Arends (1997) mengemukakan pengetahuan
metakognitif merupakan pengetahuan seseorang tentang pembelajaran diri sendiri
atau kemampuan untuk menggunakan strategi-strategi belajar tertentu dengan
benar. Berdasarkan makna strategi metakognitif dasar dan pengetahuan
metakognitif dapat disimpulkan bahwa pembelajaran metakognitif bagi siswa
adalah penting. Jika siswa telah memiliki metakognisi, siswa akan terampil
dalam strategi metakognitif. Siswa yang terampil dalam strategi metakognitif
akan lebih cepat menjadi anak mandiri.
Butler & Winn (1995 dalam Slavin, 2000), Pressley, Harris & Marks (1992), Presley (1990), menyatakan bahwa keterampilan berpikir dan keterampilan belajar adalah contoh-contoh keterampilan metakognitif. Manfaat metakognisi bagi guru dan siswa adalah menekankan pemantauan diri dan tanggung jawab guru dan siswa. Pemantauan diri merupakan keterampilan berpikir tinggi. Howard (2004) menyatakan keterampilan metakognitif diyakini memegang peranan penting pada banyak tipe aktivitas kognitif termasuk pemahaman, komunikasi, perhatian (attention), ingatan (memory), dan pemecahan masalah. Peneliti yakin, bahwa penggunaan strategi yang tidak efektif adalah salah satu penyebab ketidakmampuan belajar (Deshler, Ellis & Lenz, 1996 dalam Corebima, 2006a). Livingston (1997) menyatakan metakognisi memegang salah satu peranan kritis yang sangat penting agar pembelajaran berhasil. Siswa dapat belajar lebih aktif, bergairah, dan percaya diri selama proses pembelajaran, karena pengajar mampu mengembangkan strategi metakognitif (Hollingworth & McLouglin, 2001).
Hasil penelitian pada kelompok siswa yang diajarkan berpikir metakog-nitif dan strategi pemecahan masalah, dan kelompok siswa yang diajarkan strategi metakognitif saja dapat meningkatkan kesadaran metakognitif dan menggunakan lebih banyak strategi metakognitif selama pemecahan masalah, meningkatkan pengetahuan metakognitif, dan siswa dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kognitif pada tingkat yang lebih tinggi.
Butler & Winn (1995 dalam Slavin, 2000), Pressley, Harris & Marks (1992), Presley (1990), menyatakan bahwa keterampilan berpikir dan keterampilan belajar adalah contoh-contoh keterampilan metakognitif. Manfaat metakognisi bagi guru dan siswa adalah menekankan pemantauan diri dan tanggung jawab guru dan siswa. Pemantauan diri merupakan keterampilan berpikir tinggi. Howard (2004) menyatakan keterampilan metakognitif diyakini memegang peranan penting pada banyak tipe aktivitas kognitif termasuk pemahaman, komunikasi, perhatian (attention), ingatan (memory), dan pemecahan masalah. Peneliti yakin, bahwa penggunaan strategi yang tidak efektif adalah salah satu penyebab ketidakmampuan belajar (Deshler, Ellis & Lenz, 1996 dalam Corebima, 2006a). Livingston (1997) menyatakan metakognisi memegang salah satu peranan kritis yang sangat penting agar pembelajaran berhasil. Siswa dapat belajar lebih aktif, bergairah, dan percaya diri selama proses pembelajaran, karena pengajar mampu mengembangkan strategi metakognitif (Hollingworth & McLouglin, 2001).
Hasil penelitian pada kelompok siswa yang diajarkan berpikir metakog-nitif dan strategi pemecahan masalah, dan kelompok siswa yang diajarkan strategi metakognitif saja dapat meningkatkan kesadaran metakognitif dan menggunakan lebih banyak strategi metakognitif selama pemecahan masalah, meningkatkan pengetahuan metakognitif, dan siswa dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kognitif pada tingkat yang lebih tinggi.
3. Teori Sibernetik
Menurut teori sibernetik, belajar merupakan pengolahan
informasi. Teori sibernetik lebih mementingkan proses belajar daripada hasil
belajar. Hal lain yang berkaitan dengan teori sibernetik adalah tidak ada satu
proses belajar yang ideal untuk segala situasi dan yang cocok untuk semua siswa
karena cara belajar ditentukan oleh system informasi. Komponen pemrosesan
informasi dipilah berdasarkan perbedaan fungsi, kapasitas, bentuk informasi,
serta proses terjadinya “lupa”, yaitu:
1. Sensori Reseptor (SR) Sensory
Receptor (SR) merupakan sel tempat pertama kali informasi diterima dari
luar. Di dalam SR informasi ditangkap dalam bentuk aslinya, bertahan dalam
waktu sangat singkat, dan informasi tadi mudah terganggu.
2. Working Memory (WM) Working Memory
(WM) diasumsikan mampu menangkap informasi yang diberi perhatian oleh individu.
Karakteristik WM adalah memiliki kapasitas terbatas (informasi hanya mampu
bertahan kurang lebih 15 detik tanpa pengulangan) dan informasi dapat disandi
dalam bentuk yang berbeda dari stimulus aslinya. Artinya agar informasi dapat
bertahan dalam WM, upayakan jumlah informasi tidak melebihi kapasitas disamping
melakukan pengulangan.
3. Long Term Memory (LTM) Long Term
Memory (LTM) diasumsikan; 1) berisi semua pengetahuan yan telah dimiliki
individu, 2) mempunyai kapasitas tidak terbatas, 3) sekali informasi disimpan
di dalam LTM ia tidak akan pernah terhapus atau hilang. Persoalan lupa pada
tahapan ini disebabkan oleh kesulitan atau kegagalan memunculkan kembali
informasi yang diperlukan.
Teori sibernetik sebagai teori belajar dikritik karena lebih
menekankan pada system informasi yang akan dipelajari, sedangkan bagaimana
proses belajar berlangsung sangat ditentukan oleh system informasi tersebut.
Selain itu teori ini tidak membahas proses belajar secara langsung sehingga hal
ini menyulitkan penerapannya. Teori ini memandang manusia sebagai pengolah
informasi yang akan dipelajari, pemikir, dan pencipta. Sehingga diasumsikan
manusia mampu mengolah, menyimpan, dan mengorganisasikan informasi.
Langganan:
Postingan (Atom)