A. Pandangan Tradisional
Pada mulanya upaya pembangunan Negara Sedang Berkembang (NSB) diidentikkan dengan upaya meningkatkan pendapatan perkapita atau populer disebut strategi pertumbuhan ekonomi. Semula banyak yang beranggapan yang membedakan antara negara maju dengan NSB adalah pendapatan rakyatnya. Dengan ditingkatkannya pendapatan per kapita diharapkan masalah-masalah seperti pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan distribusi pendapatan yang dihadapi NSB dapat terpecahkan, misalkan melalui apa yang dikenai dengan “dampak merembes ke bawah” (trickle down effect). Indikator berhasil tidaknya pembangunan semata-mata dilihat dari meningkatnya pendapatan nasional (GNP) per kapita riil, dalam arti tingkat pertumbuhan pendapatan nasional dalam harga konstan (setelah dideflasi dengan indeks harga) harus lebih tinggi dibanding tingkat pertumbuhan penduduk.
Kecenderungan di atas terlihat dari pemikiran-pemikiran awal mengenai pembangunan, seperti teori Harrod Domar, Arthur Lewis, WW Rostow, Hirschman, Rosenstein Rodan, Nurkse, Leibenstein. Seperti judul buku karya monumental Arthur Lewis, pembangunan ekonomi dianggap merupakan kajian The Theory of Economic Growth. Ini mencerminkan munculnya teori pertumbuhan dan pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan utama dari setiap kebijakan ekonomi di negara manapun. Sepanjang dasawarsa 1950-an, sementara pembangunan ekonomi diidentikkan dengan pertumbuhan ekonomi, ekonomika pembangunan sebagai cabang ilmu ekonomi yang relatif baru memusatkan perhatian pada taktor-faktor penentu pertumbuhan ekonomi (Arndt, 1996: 6).
Meskipun banyak varian pemikiran, pada dasarnya mereka sependapat bahwa kata kunci dalam pembangunan adalah pembentukan modal. Oleh karena itu, strategi pembangunan yang dianggap paling sesuai adalah akselerasi pertumbuhan ekonomi dengan mengundang modal asing dan melakukan industrialisasi. Diundangnya modal asing nampaknya diilhami oleh kisah sukses Rencana Marshall dalam membantu pembangunan negara Eropa Barat dan Jepang. Sedang industrialisasi yang memusatkan perhatian pada sektor-sektor modern dan padat modal nampaknya tidak dapat dipisahkan dari pengalaman Inggris sebagai negara industri pertama.
Tak pelak lagi konsep dan strategi pembangunan semacam itu dijiwai oleh pengalaman negara-negara Eropa. Inilah yang disebut eurocentrism, Eropa sentris, dalam pemikiran awal tentang pembangunan (Hettne, 1991). Paham developmentalis gaya Eropa ini ditandai dengan munculnya kapitalisme, naiknya masyarakat borjuis sebagai kelas sosial yang dominan, refatif berhasilnya revolusi industri, dan diperkenalkannya “pertumbuhan” sebagai ide perkembangan masyarakat. Tradisi pemikiran arus utama (mainstream) Eropa diterjemahkan lebih lanjut oleh model liberal, strategi kapitalis negara (state capitalist strategy), model Soviet, dan Keynesianisme Model liberal mendasarkan diri pada berlangsungnya mekanisme pasar, industrialisasi yang bertahap, dan perkembangan teknologi. Strategi kapitalis negara merupakan reaksi terhadap paradigma modernisasi. Model Soviet pada dasarnya merupakan perkembangan lebih lanjut dari strategi kapitalis negara, yang nampaknya diilhami oleh kisah sukses Soviet dalam program industrialisasinya. Aliran Keynesianisme merupakan manifestasi dari kapitalisme yang telah mencapai tahap dewasa, yang intinya menghendaki campur tangan pemerintah dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Sekitar tahun 1960, ketika data makro yang dapat diperbandingkan secara internasional telah tersedia, Maddison, Denison, dan para ahli lain menemukan bahwa perbedaan dalam pembentukan modal dan faktor input tidak banyak menjelaskan mengapa timbul perbedaan dalam pertumbuhan ekonomi. Ternyata baru disadari ada banyak faktor yang tadinya dianggap “residual”, ternyata ikut berperanan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Residual di sini dikaitkan dengan investasi modal manusia dan kemajuan teknologi. Pentingnya investment in man, yang menekankan peranan faktor pendidikan dan budaya, merupakan tahap pertama menuju konsep pembangunan yang semakin tidak murni ekonomi lagi. Pembangunan pun semakin disadari tidak hanya berdimensi ekonomi tetapi multidimensi.
B. Paradigma Baru Dalam Pembangunan
Pada akhir dasawarsa 1960-an, banyak NSB mulai menyadari bahwa “pertumbuhan” (growth) tidak identik dengan “pembangunan” (development). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, setidaknya melampaui negara-negara maju pada tahap awal pembangunan mereka, memang dapat dicapai namun dibarengi dengan masalah-masalah seperti pengangguran, kemiskinan di perdesaan, distribusi pendapatan yang timpang, dan ketidakseimbangan struktural (Sjahrir, 1986: Bab 1). Ini pula agaknya yang memperkuat keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang diperlukan (necessary) tetapi tidak mencukupi (sufficient) bagi proses pembangunan (Esmara, 1986: 12; Meier, 1989: 7. Pertumbuhan ekonomi hanya mencatat peningkatan produksi barang dan jasa secara nasional, sedang pembangunan berdimensi lebih luas dari sekedar peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Inilah yang menandai dimulainya masa pengkajian ulang tentang arti pembangunan. Myrdal (1971), misalnya, mengartikan pembangunan sebagai pergerakan ke atas dari seluruh sistem sosial. Ada pula yang menekankan pentingnya pertumbuhan dengan perubahan (growth with change), terutama perubahan nilai-nilai dan kelembagaan. Ini dilandasi argumen adanya dimensi kualitatif yang jauh lebih penting dibanding pertumbuhan ekonomi. Meier (1989: 6) lebih khusus mengatakan:
“… perhaps the definition that would now gain widest approval is one that defines economic development as the process whereby the real per capita income of a country increases over a long period of time- subject to the stipulations that the number of people below an ‘absolute poverty line’ does not increase, and that the distribution of income does not more unequal.”
Dengan kata lain, pembangunan ekonomi tidak lagi memuja GNP sebagai sasaran pembangunan, namun lebih memusatkan perhatian pada kualitas dari proses pembangunan.
Selama dasawarsa 1970-an, redefinisi pembangunan ekonomi diwujudkan dalam upaya meniadakan, setidaknya mengurangi, kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan.
Definisi Seers berarti meredefinisi pembanguan dalam konteks tujuan sosial. Dengan cepat dimensi baru mengenai pembangunan mendapat sambutan hangat dari penganjur strategi yang berorientasi kesempatan kerja, pemerataan, pengentasan kemiskinan, dan kebutuhan pokok.
Obsesi Seers nampaknya didorong oleh keprihatinannya melihat kenyataan pembangunan di NSB Timbul kesan bahwa ia “tidak sabar” melihat implementasi strategi anti kemiskinan, orientasi pada kesempatan kerja, dan pemerataan pembangunan, yang sering hanya berhenti sebagai retorika politik para penguasa di NSB semata. Ini pula agaknya yang mendorong munculnya konsep dan strategi pembangunan yang baru.
Sejarah mencatat munculnya paradigma baru dalam pembangunan seperti pertumbuhan dengan distribusi, kebutuhan pokok (basic needs), pembangunan madiri (self-reliant development), pembangunan berkelanjutan dengan perhatian terhadap alam (ecodevelopment), pembangunan yang memperhatikan ketimpangan pendapatan menurut etnis (ethnodevelopment). Barangkali menarik untuk menelusur ide dasar masing-masing paradigma tersebut.
- Strategi Pertumbuhan Dengan Distribusi
Para proponen strategi “pertumbuhan dengan distribusi”, atau “redistribusi dari pertumbuhan”, pada hakekatnya menganjurkan NSB agar tidak hanya memusatkan perhatian pada pertumbuhan ekonomi (memperbesar “kue” pembangunan) namun juga mempertimbangkan bagaimana distribusi “kue” pembangunan tersebut. Ini bisa diwujudkan dengan kombinasi strategi seperti peningkatan kesempatan kerja, investasi modal manusia, perhatian pada petani kecil, sektor informal dan pengusaha ekonomi lemah. Dengan kata lain, syarat utamanya adalah orientasi pada sumber daya manusia, atau ada yang menyebut sebagai orientasi populisme dalam pembangunan.
2. Strategi Kebutuhan Pokok
Embrio pendekatan kebutuhan pokok bermula dari program ILO (International Labour Organization) tentang “World Development” pada tahun 1969 dan “Deklarasi tentang Prinsip-Prinsip dan Program Aksi Strategi Kebutuhan Pokok dalam Pembangunan” pada Konferensi Dunia tentang kesempatan kerja pada tahun 1976. Hanya perdebatan yang sering muncul adalah berkisar mengenai apa yang dimaksud dengan kebutuhan pokok. Ada yang berpendapat, kebutuhan pokok mencakup kebutuhan minimum konsumsi (pangan, sandang, perumahan) dan jasa umum (kesehatan, transportasi umum, air, fasilitas pendidikan).
Sementara itu, pendekatan lain lebih mementingkan apa yang dapat membuat hidup ini lebih berharga. Todaro (1989: 89), misalnya, nenekankan 3 nilai dasar pembangunan, yaitu life-sustenance (kemampuan menyediakan kebutuhan dasar), self-esteem (kebutuhan untuk dihargai), dan freedom (kebebasan untuk memilih). Strategi pemenuhan kebutuhan pokok dengan demikian telah mencoba memasukkan semacam “jaminan” agar setiap kelompok sosial yang paling lemah mendapat manfaat dari setiap program pembangunan. Dengan kata lain, konsep kebutuhan pokok harus dipandang sebagai dasar utama dalam strategi pembangunan ekonomi dan sosial.
3. Strategi Pembangunan Mandiri
Strategi pembangunan mandiri agaknya berkaitan dengan strategi pertumbuhan dengan distribusi, namun strategi ini memiliki pola motivasi dan organisasi yang berbeda. Pada dekade 1970-an, strategi ini populer sebagai antitesis dari paradigma dependensia. Ini tidak bisa dilepaskan dari pengalaman India pada masa Mahaatma Gandhi, Tanzania di bawah Julius Nyerere, dan Cina di bawah Mao Zendong. Konsep Mao lebih menekankan pada usaha-usaha mandiri dengan sedikit atau tanpa integrasi dengan luar. Di Cina, dikembangkan teknologi “pribumi” daripada mengimpor teknologi dari luar. Konsep “mandiri’ dibawa ke tingkat internasional oleh negara-negara non blok pada pertemuan di Lusaka tahun 1970, dan dielaborasi lebih lanjut pada konferensi non-blok di Georgetown tahun 1972. Dengan demikian konsep “mandiri” telah muncul sebagai konsep strategis dalam forum internasional sebelum konsep Tata Ekonomi Dunia Baru” (NIEO) lahir dan menawarkan anjuran kerjasama yang menarik dibanding menarik diri dari percaturan global. Perjuangan mengejar kemandirian pada tingkat lokal, nasional, atau regional, kadang kala bersifat revolusioner, di lain kasus kadang bersifat reaktif.
4. Strategi Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan, atau sustainable development, muncul ketika isu mengenai lingkungan muncul pada dasa warsa 1970. Pesan utamanya adalah bahwa tata dunia baru atau lama tidak akan menguntungkan apabila sistem biologis alam yang menopang ekonomi dunia tidak diperhatikan. Sinyal pertama mengenai batas pertumbuhan adalah laporan dari Club of Rome pada tahun 1972. Dengan menggunakan ekstrapolasi ekonometrika dari data statistik, penulis buku The Limits to Growth menyimpulkan bahwa “bila tren pertumbuhan saat ini dalam penduduk dunia, industrialisasi, polusi, produksi makanan, dan deplesi sumberdaya terus tidak berubah, batas pertumbuhan atas planet ini akan dicapai dalam waktu kurang dari 100 tahun mendatang”.
Namun ternyata ramalan Club of Rome tidak terbukti. Pemikiran mereka pun mendapat banyak kritik baik secara metodologis maupun asumsinya bahwa sumberdaya terbatas jumlahnya. Kendati demikian, akhir-akhir ini isu mengenai lingkungan hidup semakin gencar dengan adanya laporan mengenai menipisnya lapisan ozon di atas planet bumi kita, isu polusi (udara, air, tanah), erosi tanah, dan penggundulan hutan.
Lester Brown (1981) menunjuk 4 area utama dari sudut pandang sustainabilitas, yaitu: tertinggalnya transisi energi, memburuknya sistem biologis utama (perikanan laut. padang rumput, hutan, lahan pertanian), ancaman perubahan iklim (populasi, dampak “rumah kaca”, dsb), serta kurangnya bahan pangan. Pada gilirannya, ini memperkuat pandangan bahwa strategi pembangunan di banyak negara seakan “buta” terhadap lingkungan hidup. Para pendukung utama pembangunan berkelanjutan lalu menunjuk pentingnya strategi ecodevelopment, yang intinya mengatakan bahwa masyarakat dan ekosistem di suatu daerah harus berkembang bersama-sama menuju produktivitas dan pemenuhan kebutuhan yang lebih tinggi namun yang paling utama strategi pembangunan ini harus barkelanjutan baik dari sisi ekologi maupun sosial.
5. Strategi Berdimensi Etnik
Strategi ethnodevelopment, bermula muncul dari konflik antar etnis. Isu antar etnis (rasial, suku) berkembang di Afrika, dan semakin sering terjadi di Asia Selatan pada dasa warsa 1980-an. Ini sering terjadi terutama pada masyarakat di mana terdapat multietnis. Tidak ada “bahasa penjelas” yang sama untuk conflik antar etnis ini. Namun setidaknya konflik yang biasa muncul adalah: konflik atas penguasaan sumber daya alam, konflik yang berkaitan dengan proyek infrastruktur (yang mempengaruhi ekosistem suatu daerah), konflik akibat ketimpangan pembangunan, konflik mengenai ide dasar strategi pembangunan nasional, konflik atas bagaimana pemerintah mendistribusikan sumberdaya.
Sejauh ini baru Malaysia yang secara terbuka memasukkan konsep ethnodevelopment dalam formulasi Kebijaksanaan Ekonomi Baru-nya (NEP). NEP dirancang dan digunakan untuk menjamin agar buah pembangunan dapat dirasakan kepada semua warga negara secara adil, baik ia dari komunitas Cina, India, dan masyarakat pribumi Malaysia (Faaland, et al. 1990). Inilah barangkali sebab utama adanya data mengenai distribusi antar etnis dalam setiap publikasi data Malaysia.
C. Paradigma Pembangunan
Demikian banyak makna pembangunan yang diturunkan oleh para ahli berdasarkan pengalaman di berbagai negara dan studi empiris yang mereka lakukan. Boleh dikata hampir setia orang peduli dengan pembangunan sebagai tujuan yang diinginkan bagi negara dan penduduk di negara Dunia Ketiga. Namun begitu banyak interpretasi mengenai “makna pembangunan” sehingga orang kadang-kadang bertanya-tanya apakah pembangunan hanya tidak lebih merupakan pandangan utopis setiap orang? Persis apa yang dikatakan oleh Arndt (1996):
“Alincst everyone conciders development - even economic development - a desir able objective for the countries and people of the Third World. But so diverse have the interpretations of ‘development’ become that one sometimes wonders whether it now stands for anything more substantial than everyone’s own utopia”.
Sejarah pemikiran mengenai pembangunan memang diwarnai dengan evolusi makna pembangunan. Dari pemujaan terhadap pertumbuhan, hingga paradigma baru dalam pembangunan seperti pertumbuhan dengan distribusi, kebutuhan pokok (basic needs), pembangunan mandiri (self-reliant development), pembangunan berkelanjutan dengan perhatian terhadap alam (acodevelopment), pembangunan yang memperhatikan ketimpangan pendapatan menurut etnis (ethnodevelopment). Akhir-akhir ini mulai antri bebarapa paradigma lain, seperti wanita dalam pembangunan, pembangunan regional/spasial, dan pembangunan masyarakat.
Kendati demikian, banyak yang memandang berbagai paradigma baru tentang pembangunan ini masih berada pada dataran normatif. Artinya kontribusinya mengenai pembangunan tidak berbicara dalam konteks aktual (das sein; what to be) namun lebih membahas apa yang seharusnya dilakukan (das solen; what ought to be). Atau alternatifnya, kita mau tidak mau harus mengkombinasikan berbagai paradigma tersebut dalam formulasi maupun implementasi kebijakan. Nampaknya tidak salah apabila disimpulkan bahwa pembangunan harus dilihat sebagai proses yang multidimensi, yang mencakup tidak hanya pembangunan ekonomi namun juga mencakup perubahan-perubahan utama dalam struktur sosial, perilaku dan kelembagaan.
INDIKATOR PEMBANGUNAN
Pembangunan selalu menimbulkan dampak baik positif maupun negatif. Oleh karena itu diperlukan indikator sebagai tolok ukur terjadinya pembangunan. Bab ini akan menguraikan mengenai indikator-indikator ekonomi maupun sosial yang dikenal dalam ekonomi pembangunan.
A. PERLUNYA INDIKATOR PEMBANGUNAN
Sebagaimana dijelaskan pada Bab 1. paradigma tradisional mengenai pembangunan cenderung mengidentikkan pembangunan dengan pertumbuhan ekonomi. Salah satu definisi pembangunan ekonomi yang paling banyak diterima adalah:
suatu proses di mana pendapatan per kapita suatu negara meningkat selama kurun waktu yang panjang, dengan catatan bahwa jumlah penduduk yang hidup di bawah “garis kemiskinan absolut” tidak meningkat dan distribusi pendapatan tidak semakin timpang (Meier, 1995: 7).
Yang dmaksud dengan proses adalah berlangsungnya kekuatan-kekuatan tertentu yang saling berkaitan dan mempengaruhi. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi lebih dari sekedar pertumbuhan ekonomi. Proses pembangunan menghendaki adanya pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan perubahan (growth plus change) dalam: Pertama, perubahan struktur ekonomi: dari pertanian ke industri atau jasa. Kedua, perubahan kelembagaan, baik lewat regulasi maupun reformasi kelembagaan itu sendiri.
Penekanan pada kenaikan pendapatan per kapita (GNP riil dibagi jumlah penduduk) dan tidak hanya kenaikan pendapatan nasional riil menyiratkan bahwa perhatian pembangunan bagi negara miskin adalah menurunkan tingkat kemiskinan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar